Banyak Anak Banyak Rejeki
Prinsip Jadul yang Menekankan Anak sebagai Investasi
"Banyak Anak, Banyak Rejeki!" pernah dengar kutipan tersebut? Kalau kamu warga +62, kamu pasti familiar dengan kutipan tersebut. Ya, kutipan itu layaknya sebuah "prinsip" bagi mayoritas masyarakat di Indonesia yang menganggap semakin banyak anak, maka akan semakin banyak rejeki dalam kehidupannya. Namun pertanyaannya, sebenarnya "Rejeki" yang dimaksudkan itu seperti apa sih?
Rejeki=Investasi
![]() |
Sumber: sebuah promosi/ iklan sebuah perusahaan asuransi Di sebuah negara ASIA. Dilansir dari https://id.quora.com/Apakah-mempunyai-anak-merupakan-investasi |
Mirisnya, orang tua yang menganut prinsip ini kebanyakan membebankan masalah finansial keluarga kepada anak ketika anak tersebut dianggap sudah bisa bekerja. Orang tua merasa bahwa anak memiliki kewajiban untuk membayar hutang budi terhadapnya karena telah dirawat dan diberi pendidikan. Karena menganggap "anak" adalah sebuah investasi, orang tua akan meminta "kembali" kasih sayang atau perlakuan yang selama ini ia berikan. Duh, tidak seindah lagu kasih ibu, ya~
Dampak yang Dirasakan Anak
Tentunya anggapan anak sebagai bahan investasi adalah tekanan bagi hampir seluruh anak yang merasakannya, terutama anak-anak yang lahir dari keluarga menengah ke bawah dan berada di lingkup keluarga yang penuh masalah, misalnya: orang tua dililit hutang dan saudara tukang judi. Anak-anak yang dijuluki dengan "Breadwinner" ini tentu masih manusia, sehingga ketika mereka dibebankan seluruh masalah finansial keluarga, kemungkinan besar mereka akan tertekan dan mengalami stress.
Kebanyakan anak-anak Breadwinner tidak punya cukup waktu untuk bermain dan memikirkan kebahagiaannya sendiri karena kebanyakan waktunya dihabiskan untuk bekerja dan mengabdikan diri untuk memperbaiki permasalahan keluarga. Dalam jangka waktu panjang, jika anak-anak tersebut tidak mendapatkan tempat yang cukup untuk mencurahkan diri dan rehat, akan ada dampak buruk pada psikologis anak. Anak dapat mengalami depresi berat, ketakutan untuk memiliki keluarga atau menjalin hubungan, atau mengakhiri hidupnya.
Apakah Prinsip Ini Salah?
Bagi saya pribadi, salah. Mengapa? Karena menurut saya, tanpa seorang "orang tua" menganggap anaknya sebagai sebuah investasi yang akan memperbaiki kehidupannya atau menjamin masa tuanya aman, seorang "anak" yang diperlakukan dengan baik oleh keluarganya, baik dari keluarga kalangan mana pun, akan tumbuh menjadi anak yang mencintai keluarganya, terutama orang tuanya.
Orang tua tidak perlu berlomba-lomba menghasilkan banyak anak karena menganggap akan banyak mendapat "rejeki" bila orang tua tidak dapat menjamin memberikan kehidupan yang layak dan memperlakukan anak sebagai sebuah robot pencari pundi-pundi uang. Sulit tidaknya, bahagia tidaknya seorang "orang tua" dalam menjalani kehidupannya sebagai orang tua, tidak lantas menjadi keharusan yang diturunkan pada anaknya ketika anaknya bertumbuh dewasa. Anak berhak bahagia dan diperlakukan layaknya manusia.
Komentar
Posting Komentar